Jumat, 04 Februari 2011

OPTIMIS

Empat belas abad yang lalu Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh, sepeninggalku akan ada para penguasa negara yang mementingkan diri sendiri dan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak kalian sukai.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami ketika mengalami peristiwa tersebut?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah kewajiban kalian dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (HR Muslim).
Apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. tersebut tampak jelas dalam perilaku para penguasa saat ini. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Rahmat Waluyanto, mengakui bahwa Indonesia akan menambah hutang pada tahun 2011 sebesar Rp 200,6 triliun. Tentu, ini harus dibayar oleh rakyat. Namun, realitasnya uang rakyat itu digasak oleh penguasa. Sekadar contoh, kita tahu beberapa waktu lalu ramai pembangunan gedung mewah DPR berfasilitas SPA dan kolam renang senilai Rp 1,8 triliun, biaya pembahasan RUU inisiatif DPR sebesar 170 miliar, dana aspirasi Rp 8,4 triliun, bagi-bagi cek kosong Rp 1,1 triliun, dan tak ketinggalan penyelewengan pembangunan Rumah Jabatan Anggota DPR di Kalibata serta dana plesiran ke luar negeri yang nilainya triliunan. Kalangan menteri pun demikian. Sebut saja proyek renovasi interior rumah dinas Menteri Keuangan yang menelan biaya Rp 3,4 miliar (pada pertengahan 2008 berbiaya Rp 2,1 miliar dan awal 2009 menelan anggaran hingga Rp 1,3 miliar).
Kasus hukum yang melibatkan pejabat seperti kasus Century, kasus rekening gendut para jenderal, kasus suap pemilihan Gubernur Bank Indonesia, dan kasus mafia pajak Gayus Tambunan tak diselesaikan dengan serius. Sadar atau tidak, para penguasa sedang menggiring kita secara sengaja, terprogram dan terencana menuju kebinasaan. Lupakah kita bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang-orang sebelum kalian menjadi binasa karena jika ada orang dari kalangan terhormat (pejabat, penguasa, elit masyarakat) mencuri, mereka membiarkannya dan jika ada orang dari kalangan rendah (masyarakat rendahan, rakyat biasa) mencuri, mereka menegakkan sanksi hukuman atasnya. Demi Allah, sendainya Fatimah binti Muhamamd mencuri, pasti aku potong tangannya.” (HR al-Bukhari).
Rakyat makin dicekik. Dengan berbagai dalih, ‘subsidi’ BBM dicabut. Padahal pihak yang pertama kali merasakan dampak kenaikan harga-harga akibat hal tersebut adalah rakyat kecil. Mereka tetap bergeming saat banyak pihak mengkritik kebijakan tersebut, seakan mereka kebal kritik dan kebal hukum.
Baru saja Pemilu 2009 berlalu, sekarang mereka sudah saling sikut untuk memperebutkan kursi dan presiden/wakil presiden dalam Pemilu 2014. Mereka makan uang rakyat, tetapi tidak mengurusi rakyat. Realitas ini semakin membuat masyarakat memahami makna sabda Kanjeng Rasul Muhammad saw., “Pada Hari Kiamat kelak setiap pengkhianat akan membawa bendera yang dia kibarkan tinggi-tinggi sesuai dengan pengkhianatannya. Ketahuilah, tidak ada pengkhianatan yang lebih besar daripada pengkhianatan seorang penguasa terhadap rakyatnya.” (HR Muslim).
Masyarakat makin paham tentang realitas ini. Karenanya, tidaklah mengherankan bila berbagai survey menunjukkan semakin menurunnya kepercayaan rakyat kepada penguasa daripada tahun sebelumnya. Dalam jajak pendapat Kompas akhir 2010 ditemukan: 69,2% tidak puas terhadap upaya Pemerintah menangani berbagai masalah; kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah tersisa 54,6%. Hal serupa terjadi pada wakil rakyat: 73% responden tidak puas terhadap DPR; 68% menilai negatif partai politik.
Di tengah derasnya ketidakpercayaan rakyat terhadap penguasa, wakil rakyat, dan partai politik yang menerapkan kapitalisme, ternyata masyarakat menaruh harapan pada syariah Islam dan Khilafah. Survey oleh PPIM–UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan masyarakat yang menginginkan syariah pada tahun 2001 sebesar 61%, tahun 2002 sebesar 71%, dan pada tahun 2003 meningkat menjadi sebesar 75%. Khusus di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, hasil survey Setara Institute menunjukkan mayoritas masyarakat setuju dengan hukum rajam, jilbab, perbankan syariah dan label halal. Masih menurut survey itu, terdapat 34.6% masyarakat yang setuju Khilafah. Tentu, ini jumlah yang tidak dapat dianggap sepele. Lihat saja Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu tahun 2009 hanya mengantongi 20,85%. Apalagi, ada survey lain yang lebih luas. Survey SEM Institute pada tahun 2010 menemukan bahwa 74% masyarakat Indonesia setuju syariah, 70% setuju dengan pengertian Khilafah sebagai bentuk sistem politik dan pemerintahan dalam Islam, dan 83% menyatakan bahwa umat Islam butuh Khilafah yang menyatukan umat dunia. Hal ini menunjukkan rakyat semakin sadar bahwa negeri Muslim terbesar ini tengah sakit dan obatnya adalah Islam. Dari sini juga dapat dilihat bahwa propaganda yang memberikan cap negatif (stigma) terhadap gagasan syariah dan Khilafah hanyalah sebuah upaya untuk membungkam jiwa rakyat yang menaruh harapan pada Islam sebagai satu-satunya solusi. Justru respon positif umat terhadap Islam merupakan sikap optimisme tersendiri.
Terkait masalah ini ada dua pelajaran penting. Pertama: optimisme menyongsong kemenangan Islam. Allah SWT telah berjanji memenangkan agama ini dan memberikan pertolongan kepada kaum Mukmin. Upaya musuh-musuh Islam untuk memadamkan Islam sebagai cahaya petunjuk dari Allah SWT pasti kandas (Lihat QS at-Taubah [9]: 32). Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa upaya mereka mema-damkan cahaya Allah ini sebagaimana mereka hendak memadamkan sinar matahari hanya dengan meniupkan mulut mereka. Ini mustahil berhasil (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, IV/136).
Kedua: kondisi yang makin parah dan sambutan masyarakat terhadap penerapan syariah dan penyatuan umat dalam Khilafah sejatinya makin mendorong kita untuk terus mendakwahkan kebenaran (al-haq). Kewajiban seorang Muslim saat mengetahui kebenaran adalah mengikuti kebenaran itu dan menyatakan kebenaran itu tanpa rasa takut kepada siapapun. Ini adalah bagian amar makruf nahi munkar. Orang yang diam dari kebenaran adalah setan bisu. Bagaimana mungkin ada seseorang dapat dihinggapi rasa takut kepada manusia melebihi takutnya kepada Allah. Hal ini tidak boleh terjadi baik pada individu Muslim maupun gerakan/lembaga Islam. Sebab, seorang Muslim, saat mengetahui kebenaran, harus bertawakal untuk mengikuti kebenaran tersebut, mendakwahkan-nya, serta menjelaskannya (Mahmas bin Abdullah bin Muhammad al-Jal’ud, Al-Muwalah wa al-Mu’adah fi asy-Syariah al-Islamiyyah, 1/387).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar