Rabu, 23 Februari 2011

METODOLOGI TAFSIR ATHA' ABU RASYTAH

Pengantar
Penafsiran Al-Qur`an amat memerlukan metodologi. Tanpa metodologi tafsir, upaya penafsiran Qur`an akan berjalan tanpa kaidah dan lebih bersifat arbitrer, alias suka-suka tanpa alasan rasional. Ini seperti orang yang menuju suatu kota tapi tak tahu jalan mana yang harus ditempuh. Dia akan mencoba-coba (trial and error) yang mungkin tidak sampai tujuan atau malah tersesat.
Di sinilah urgensi metodologi tafsir, atau istilah teknisnya ushul at-tafsir, yang didefinisikan sebagai sekumpulan kaidah (qawa'id) atau dasar (asas) yang wajib digunakan oleh mufassir untuk menafsirkan Al-Qur`an secara benar. (Al-'Ak, Ushul At-Tafsir wa Qawa'iduhu, hal. 30; Al-Rumi, Buhuts fi Ushul al-Tafsir wa Manahijuhu, hal. 11; Haqqi, Ulumul Qur`an min Khilal Muqaddimat Al-Tafasir, Juz I hal. 52).
Tulisan ini bertujuan menjelaskan metodologi tafsir yang digagas Syaikh Atha` Abu Rasytah, pemimpin Hizbut Tahrir kini, dalam kitabnya At-Taisir fi Ushul At-Tafsir, (Beirut : Darul Ummah), 2006.
Latar Belakang dan Tujuan
Abu Rasytah berpandangan penafsiran Al-Qur`an yang paling baik terjadi pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat. Pada masa ideal ini, umat Islam memahami Al-Qur`an berdasarkan tiga hal, yaitu : penjelasan Rasulullah SAW, kaidah-kaidah Bahasa Arab, dan akal dalam batas-batas kemampuannya. (hal. 11-13).
Pada saat Allah memerintahkan mereka shalat (QS Al-Baqarah : 34), mereka memahami kata shalat dari praktik shalat yang dilakukan Rasulullah SAW. Ketika Allah mengharamkan bangkai (QS Al-Maidah : 3), mereka memahami artinya berdasarkan kaidah Bahasa Arab, yaitu pengharaman memakan bangkai (tahrim akli al-maitah). Mereka pun memahami ayat-ayat Al-Qur`an dengan akal dalam batas-batas kemampuannya, yaitu hanya pada objek-objek yang dapat diindera, misalnya alam semesta. Bukan pada hal-hal yang ghaib, misalnya memikirkan sifat-sifat Allah, apakah ia menyatu atau terpisah dengan dzat Allah. (hal. 11-13).
Namun sejak generasi tabi'it tabi'in dan sesudahnya (sejak abad ke-2 H), kualitas penafsiran Al-Qur`an umat mengalami kemerosotan. Abu Rasytah menyebut tiga macam musibah beruntun yang kemudian merusak pola pikir umat dalam menafsirkan Al-Qur`an. Musibah pertama, terjadi ketika kemampuan bahasa Arab umat melemah sehingga Al-Qur`an ditafsirkan tidak sesuai lagi dengan kaidah Bahasa Arab. Musibah kedua, terjadi saat sebagian umat membebaskan akal dalam memahami al-Qur`an, tanpa mengenal batas-batas kemampuan akal, semisal membahas kemakhluqan Al-Qur`an (khalq al-Qur`an). Sedang musibah ketiga, terjadi ketika ada sebagian umat yang mengadopsi berbagai konsep rusak dari filsafat Yunani, lalu menggunakannya untuk menafsirkan Al-Qur`an. (hal. 14). (Lihat Abu Ulbah, Syawa`ib At-Tafsir, hal. 33-51).
Rasa prihatin melihat kemerosotan penafsiran Al-Qur`an inilah yang melatarbelakangi Abu Rasytah menulis kitabnya At-Taisir fi Ushul At-Tafsir. Tujuan yang beliau harapkan adalah merumuskan metodologi tafsir yang sahih seperti yang pernah digunakan umat Islam pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat. (hal. 32)
Pokok-Pokok Metodologi Tafsir
Metodologi tafsir Abu Rasytah secara garis besar tidak keluar dari lingkup metodologi tafsir Ahlus Sunnah wal Jamaah. Beliau banyak mengembangkan gagasan pendahulunya, yakni Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz I (Bab Tafsir) dan kitab Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz III (Ushul Fiqih).
Metodologi tafsir beliau dapat diringkas dalam pokok-pokok berikut :
1. Menjadikan Bahasa Arab Penafsir Al-Qur`an
Abu Rasytah menegaskan tak mungkin seseorang memahami Al-Qur`an dengan benar tanpa memahami bahasa Arab. Sebab Al-Qur`an telah diturunkan dalam bahasa Arab (QS Yusuf : 2; QS An-Nahl : 103). (hal. 22).
Prosedur pemaknaan Al-Qur`an dengan bahasa Arab adalah sebagai berikut :
(1) suatu ayat hendaknya lebih dulu ditafsirkan menurut haqiqah syar'iyah, yaitu makna hakiki menurut syar'i. Misalkan kata shalat (QS Al-Baqarah : 34) harus ditafsirkan secara syar'i sebagai shalat yang dicontohkan Rasulullah SAW, meski makna asal shalat secara bahasa adalah ad-du`a (doa).
(2) jika tidak ada makna syar'i-nya, hendaklah ayat ditafsirkan menurut haqiqah 'urfiyah, yaitu makna hakiki menurut kebiasan orang Arab berbicara. Jika makna haqiqah 'urfiyah juga tak ada, maka ayat ditafsirkan menurut haqiqah lughawiyah, yaitu makna hakiki sebagai makna asal bahasa. Misalkan firman Allah SWT :

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ

"Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang berkaki empat dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya)." (QS Fathir : 28).
Pada ayat ini, kata an-nas diartikan sebagai Adam AS dan keturunannya (haqiqah lughawiyah), kata al-an'am diartikan onta, sapi, dan domba (haqiqah lughawiyah). Tapi kata ad-dawab diartikan binatang yang berkaki empat (haqiqah 'urfiyah), tidak diartikan "binatang yang melata di bumi" (haqiqah lughawiyah). Sebab haqiqah 'urfiyah menurut bahasa Arab harus didahulukan daripada haqiqah lughawiyah. (hal. 33).
(3) jika suatu ayat tidak dapat ditafsirkan dalam ketiga makna hakikinya mengikuti tertib di atas, ia diartikan menurut makna majazinya. Makna majazi adalah makna sekunder, setelah makna primernya (yaitu makna hakiki) tidak dapat digunakan dalam pengertian aslinya. Misal kata wajhun dalam ayat yang berbunyi wa yabqa wajhu rabbika (QS Ar-Rahman : 27). Kata wajhun tidaklah tepat jika diartikan dalam makna hakikinya (wajah) : "Dan tetap kekal wajah Tuhanmu." Sebab tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. (QS Al-Syura : 11). Maka kata wajah itu hendaklah dialihkan menuju makna majazinya, yaitu dzat, sehingga makna ayat menjadi : "Dan tetap kekal dzat Tuhanmu." (hal. 27-28).
Jadi, posisi Abu Rasytah memang menerima adanya makna majazi dalam bahasa Arab dan Al-Qur`an. Ini berbeda dengan posisi Ibnu Taimiyah dan pengikutnya seperti Ibnul Qayyim Jauziyah yang menolak keberadaan makna majazi. (Ya'qub, Asbab Al-Khatha` fi At-Tafsir, hal. 239; Al-Dahasy, Al-Aqwal al-Syadzah fi At-Tafsir, hal. 169; Al-Fanisan, Ikhtilaf Mufassirin Asbabuhu wa Atsaruhu, hal. 105; Al-Rumi, Buhuts fi Ushul al-Tafsir wa Manahijuhu, hal. 105).
(4) suatu ayat dapat ditafsirkan dengan mengetahui isytiqaq, yaitu proses derivasi berbagai kata yang berasal dari sebuah akar kata. Misalkan kata rahmah, rahiim, dan rahmaan, yang berasal dari kata rahima. Proses isytiqaq menurut wazan (pola baku pembentukan kata) dalam bahasa Arab meski melahirkan banyak kata, namun memiliki makna umum yang sama. Misalnya kata rahmaan (QS Al-Isra` : 110), artinya adalah kasih sayang yang banyak (al-katsir ar-rahmah), yang masih satu makna secara umum dengan akar katanya, yakni rahima (mengasihi/menyayangi). (hal. 33).
(5) suatu ayat dapat ditafsirkan dengan mengetahui ta'rib, yaitu proses arabisasi suatu kata yang berasal dari bahasa non Arab sesuai dengan wazan bahasa Arab. Misalkan kata sundus dan istabraq (QS Al-Insan : 21) yang berasal dari bahasa Nabatean (an-nabathiyah). Kedua kata itu dapat diberi makna oleh orang Arab mengikuti makna aslinya dari bahasa yang non Arab, yaitu sundus berarti sutera halus sedang istabraq berarti sutera kasar. (hal. 34)
2. Menjadikan Akal Penafsir Al-Qur`an dalam Batas Kemampuannya
Akal hanya dapat berfungsi jika objek yang dipikirkan adalah fakta yang dapat diindera. Jika yang dipikirkan bukan fakta yang dapat diindera, berarti akal sudah melampaui batas kemampuannya.
Karena itu, perkara-perkara yang ghaib tidak dapat dibahas menggunakan akal, melainkan harus menggunakan sarana lain, yaitu dalil naqli (berita yang dinukil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah).
Contohnya adalah kata kalamullah (QS At-Taubah : 6). Jadi Allah sendiri telah menyebut bahwa Al-Qur`an adalah kalamullah. Maka tidak perlu dibahas lagi mengenai kaifiyah (bagaimana) caranya Allah berkalam itu. Sebab pembahasan ini sudah berada di luar kemampuan akal manusia. (hal. 35).
3. Menjadikan Muhkam Hakim untuk Mutasyabih
Muhkam artinya ayat yang hanya memiliki satu makna. Sedang mutasyabih adalah ayat yang mengandung makna lebih dari satu. Muhkam adalah induk Al-Qur`an atau makna asal yang wajib menjadi rujukan (QS Ali 'Imran : 7). Maka muhkam menjadi hakim (penentu) makna mutasyabih. (hal.28-29)
Contoh mutasyabih adalah kata wajhun dalam QS Ar-Rahman : 27. Kata wajhun ini tidak dapat diartikan "wajah tapi tak seperti wajah kita". Sebab pemaknaan ini masih tetap mengikuti arti hakikinya, yakni wajah. Padahal Aqidah Islam tidak membolehkan adanya tasybih (penyerupaan) antara Allah dengan makhluq-Nya. Jadi kata wajhun yang mutasyabih (QS Ar-Rahman : 27) wajib dipalingkan ke arah makna majazinya, karena ada ayat muhkam (QS Al-Syura : 11) sebagai hakim yang tidak membenarkan makna hakikinya. Firman Allah yang muhkam :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan dia (Allah)." (QS Al-Syura : 11).
4. Memperhatikan Hubungan Ayat Sebelumnya dengan Sesudahnya
Abu Ruystah menegaskan bahwa ada hubungan antara ayat sebelumnya dengan sesudahnya. Misalkan QS Al-Baqarah : 3-5 adalah ayat yang menerangkan ciri-ciri tertentu, yaitu ciri muttaqin yang disebut dalam ayat sebelumnya (QS Al-Baqarah : 2). Kedua kelompok ayat memiliki hubungan bahwa orang beruntung (muflihun), dicirikan dengan iman dan amal shaleh. (hal. 43).
5. Mentarjih Dalalah (Makna) yang Berbilang
Abu Rasytah tidak membiarkan satu ayat memiliki beberapa makna sekaligus. Beliau cenderung melakukan tarjih (memilih yang terkuat) dari beberapa kemungkinan makna ayat. Contohnya, arti alim lam mim pada awal QS Al-Baqarah. Menurut Abu Rasytah, arti alim lam mim yang paling tepat adalah nama bagi surat Al-Baqarah itu. (hal. 41). Wallahu a'lam

KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Sumber : http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=664&Itemid=47

DAFTAR BACAAN
Abu Ar-Rasytah, Atha` bin Khalil, Al-Taisir fi Ushul al-Tafsir, (Beirut : Darul Ummah), 2006
Abu Syuhbah, M. Muhammad, Al-Madkhal li Dirasah Al-Qur`an Al-Karim, (Riyadh : Darul Liwa`), 1987
Abu Ulbah, Abdurrahim Faris, Syawa`ib At-Tafsir fi al-Qarn Ar-Rabi' 'Asyara Al-Hijri, (Beirut : t.p), 2005
Al-'Ak, Khalid Abdurrahman, Ushul At-Tafsir wa Qawa'iduhu, (Beirut : Darun Nafa`is), 1986
Al-Baghdadi, Abdurrahman, Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran Al-Qur`an (Nazharat fi al-Tafsir al-Ashri li Al-Qur`an al-Karim), Penerjemah Abu Laila & Muhammad Tohir, (Bandung : Almaarif), 1988
Al-Dzahabi, Muhammad Husain, At-Tafsir wa Mufassirun, Juz I-III, (Kairo : Maktabah Wahbah), 2000
----------, Ilmu Al-Tafsir, (Kairo : Darul Ma'arif), t.t.
Al-Fanisan, Su'ud, Ikhtilaf Mufassirin Asbabuhu wa Atsaruhu, (Riyadh : Markaz Ad-Dirasat wa Al-I'lam), 1997
Al-Hasan, M. Ali, Al-Manar fi Ulum al-Qur`an, (Amman : Mathba'ah Al-Syarq), 1983
Al-Hasani, Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Zubdah al-Itqan fi Ulum al-Qur`an, (Jeddah : Dar Al-Syuruq), 1983
Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdus Salam, Ittijahat al-Tafsir fi Al-Ashr Al-Rahin, (Amman : Maktabah Al-Nahdhah Al-Islamiyah), 1982
Al-Nabhani, Taqiyuddin, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz I, (Beirut : Darul Ummah), 2003
----------, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III, (Beirut : Darul Ummah), 2005
Al-Dahasy, Abdurrahman, Al-Aqwal al-Syadzdzah fi At-Tafsir, (Manchester : Al-Hikmah), 2004
Al-Qaththan, Mana', Mabahits fi Ulum al-Qur`an, (Kairo : Maktabah Wahbah), 2000
Al-Rumi, Fahad, Buhuts fi Ushul al-Tafsir wa Manahijuhu, (t.tp : Maktabah At-Taubah), 1419 H
Al-Sabat, Khalid bin Ustman, Qawa'id At-Tafsir Jam'an wa Dirasatan, (Madinah : Dar Ibn Affan), 1421 H
Al-Sa'di, Abdurrahman Nashir, 70 Kaidah Penafsiran al-Qur`an (Al-Qawa`id Al-Hisan li Tafsir Al-Qur`an), Penerjemah Marsuni Sasaky & Mustahab Hasbullah, (Jakarta : Pustaka Firdaus), 1997
Al-Shabuni, Muhammad Ali, Al-Tibyan fi Ulum al-Qur`an, (Beirut : Alam al-Kutub), 1985
Al-Shalih, Shubhi, Mabahits fi Ulum al-Qur`an, (Beirut : Darul Ilmi lil Malayin), 1988
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur`an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2000
Dahlan, Abd. Rahman, Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur`an, (Bandung : Mizan), 1998
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam (A History of Islamic Philosophy), Penerjemah R. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta : Pustaka Jaya), 1986
Goldziher, Ignaz, Madzahib At-Tafsir al-Islami, Penerjemah Abdul Halim an-Najjar, (Kairo : Maktabah Al-Khanja), 1955
Haqqi, Muhammad Shafa, Ulumul Qur`an min Khilal Muqaddimat Al-Tafasir, Juz I-II, (Beirut : Muassasah Ar-Risalah), 2004
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir, (Kuwait : Darul Qur`an al-Karim), 1971
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur`an Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta : Nun Pustaka), 2003
Mustaqim, Abdul & Syamsudin, Sahiron (Ed.), Studi Al-Qur`an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta : Tiara Wacana), 2002
Ushama, Thameem, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kajian Kritis, Objektif, dan Komprehensif (Methodologies of The Quranic Exegesis), Penerjemah Hasan Basri & Amroeni, (Jakarta : Riora Cipta), 2000
Ya'qub, Thahir Mahmud Muhammad, Asbab Al-Khatha` fi At-Tafsir, (Damam : Dar Ibnul Jauzi), 1425 H

Senin, 07 Februari 2011

Alasan untuk Melawan


Karena kalian duduk di kursi-kursi kekuasaan, tapi melupakan keadilan, maka kami menolak untuk diam. Kami menolak sejarah yang diputarbalikkan, kami menolak pembangunan jadi ajang pemerasan, kami menolak penindasan!
Karena kalian telah kehilangan akal sehat, dan tak lagi peduli pada kesejahteraan rakyat, maka kami menolak untuk diam. Kami menolak pikiran yang dikerdilkan, kami menolak pendidikan yang dimesinkan, kami menolak pembodohan!
Karena kalian telah jual negara dengan hutang, sementara kami harus berebut pupuk di gudang, maka kami menolak untuk diam. Kami menolak ladang-ladang petani ditaburi racun kimia, kami menolak alam dirusak demi kepentingan modal orang-orang kaya, kami menolak menghancurkan Indonesia!
Karena kalian semena-mena mencabut subsidi, sementara kami mati di lumbung padi, maka kami menolak untuk diam. Kami menolak segilintir bajingan berdasi menipu hasil panen petani, kami menolak pabrik-pabrik meracuni sungai dengan alasan efisiensi, kami menolak keserakahan yang dilegitimasi!
Karena kalian menganjurkan hidup sederhana, sementara kalian makin rakus makan uang negara, maka kami menolak untuk diam. Kami menolak wakil-wakil rakyat yang kehilangan nuraninya, kami menolak politik dusta, kami menolak disuruh menjadi gila!
Karena kalian menganjurkan rekonsiliasi, dan menuduh kami dalang provokasi, maka kami menolak untuk diam. Kami menolak tentara yang menembaki rakyat jelata, kami menolak hakim yang menjual hukum negara, kami menolak bajingan birokrasi, kami menolak pemeras yang berkedok polisi, kami menolak kebencian dijadikan komoditi, kami menolak semua ketidakadilan di negeri ini!
            Dengarkan suara kami, wahai kaum yang berkuasa: Mulai detik ini, kami menolak penjajahan bangsa sendiri!

Percikan Ikhlas

Saya menuntut ilmu bukan sekedar berbangga
Saya menuntut ilmu untuk ke surga
Saya bekerja bukan sekedar mencari harta
Saya bekerja untuk ke surga
Saya berbakti kepada orang tua bukan sekedar balas jasa
Saya berbakti kepada orang tua untuk ke surga
Saya kembali pulang bukan sekedar nostalgia
Saya kembali pulang untuk ke surga

Kupilih kamu bukan sekedar cinta
Kupilih kamu untuk ke surga
Kujauhi yang lain bukan karena tak suka
Kutinggalkan yang lain karena takut dosa
(Adi Nurcahyo, Jember - 2008) 


Penjelasan :

Setiap saat kita senantiasa dihadapan dengan berbagai pilihan perbuatan, apakah itu berkenaan dengan pekerjaan, keluarga, sekolah, atau berbagai aktivitas lainnya. Dan hampir semua pilihan itu kita ukur dengan pertimbangan enak atau ga enak, baik atau buruk, untung atau rugi, senang atau sengsara, dsb yang serupa dengan itu. Dan semua ini wajar dimiliki oleh seseorang yang masih baik akalnya.

Pertanyaannya, materi-materi kebaikkan macam apa yang kita kehendaki dan materi- materi keburukan seperti apa yang kita jauhi ? Kondisi-kondisi enak yang bagaimana yang kita harapkan, dan kondisi-kondisi tidak enak semacam apa yang kita benci ? Keadaan- keadaan senang semacam apa yang kita nantikan, dan keadaan-keadaan sengsara seperti apa yang kita takuti ?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan sumber inspirasi kita dalam berbuat. Ia merupakan pijakan utama kita dalam mengambil keputusan. Dan ia juga penegas kedudukan kita sebagai hamba dunia atau hamba-Nya.

Diriwayatkan dari Anas r.a., bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga hal yang barangsiapa menetapinya ia akan merasakan manisnya iman, (1) Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi segala-galanya, (2) Orang yang mencintai orang lain hanya karena Allah, (3) Orang yang enggan kembali kafir setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran sebagaimana ia enggan untuk dilemparkan ke neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal ini berarti, segala sesuatu yang kita pilih hendaknya menyimpan materi-materi kebaikkan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan sesuatu yang kita jauhi karena ia mengandung materi-materi yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.

Rasulullah saw juga bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Umar bin Khaththab r.a.)

Perkara yang sangat penting untuk diperhatikan, sehebat dan sebesar apapun amal yang telah kita lakukan, tidak akan diterima di sisi Allah swt, kecuali setelah terpenuhinya dua syarat :
1.Hendaknya amalan tersebut dikerjakan semata-mata karena mengharapkan keridhaan Allah ta’ala (ikhlas), sebagaimana yang terkandung dalam hadits ‘Umar
2.Hendaknya amalan tersebut secara zhohirnya sesuai dengan sunnah Rasulullah saw, sebagaimana sabda beliau, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya maka amalan itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Al Qurthubi berkata, “Telah menjadi suatu perkara yang tetap dalam Al Kitab dan Sunnah bahwa amalan-amalan yang shalih dan ikhlas ketika melakukannya dengan diiringi keimanan akan membawa pelakunya menuju surga dan jauh dari neraka.”
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk : 2)

Fudhail bin Iyadh berkata mengenai ayat ini, “Yaitu yang paling ikhlas dan paling benar”. Ketika ditanyakan, “Wahai Abu Ali, apa maksud paling ikhlas dan paling benar.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya suatu amal sekalipun benar tetapi tidak dikerjakan dengan ikhlas, maka amal itu tidak akan diterima. Sebaliknya, jika dikerjakan dengan ikhlas namun tidak dengan cara yang benar, maka amal tersebut juga tidak akan diterima. Ikhlas hanya dapat terwujud manakala amal itu diniatkan secara murni kepada Allah swt. Sedangkan amal yang benar hanya dapat terwujud dengan mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw.”

Syair Cinta

Aku simpan cintaku sehingga engkau menderita karena sikapku
Mereka mencelamu dan celaan mereka adalah aniaya
Musuh-musuhmu menghasut
Engkau mencintai dan telah menjadi bahan gunjingan
Tak ada manfaatnya menyimpan cinta
Engkau bagai harimau betina yang mati kepayahan
Pada bekas tapak Hindun atau bagaikan bibir yang sakit
Aku menjauhi kekasih karena takut dosa
Padahal menjauhi kekasih adalah dosa
Rasakanlah bagaimana (rasanya) menjauhi kekasih yang kau sangka
Bahwa itu tindakan bijaksana padahal mungkin itu bohong




(Sebuah syair dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, salah satu dari tujuh orang
ulama ahli fiqh dari kalangan tabi’in (fuqaha assab’ah), salah seorang guru utama Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, seorang ulama yang produktif menulis syair, yang pernah jatuh cinta


Penjelasan :

Menjaga perasaan kepada lawan jenis merupakan kunci kesuksesan seseorang agar terpelihara harga dirinya. Meskipun sama-sama saling menyukai, apabila merasa belum siap untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, hendaknya perasaan itu kita tutup rapat-rapat. Meskipun kita tahu, keduanya sebenarnya saling mengharapkan. Di saat seperti ini, segala bentuk qorinah / tanda, apakah itu berupa perhatian, pemberian, dsb, hendaknya kita maknai dengan pemaknaan yang sewajar-wajarnya.

Seseorang yang mengumbar perasaan cintanya, hanya akan menjadi bahan gunjingan orang-orang di sekitarnya. Apakah hubungannya itu dapat berlanjut ke jenjang pernikahan, maupun apabila hubungan tersebut gagal menuju tangga pernikahan, sama-sama merupakan sumber gunjingan yang paling enak.

Di sisi yang lain, menyimpan perasaan kepada lawan jenis yang begitu mendalam akan merusak jiwa seseorang, karena ingatannya tidak bisa lepas darinya. Alangkah baiknya apabila kecederungan tersebut segera kita wujudkan dalam bentuk ikatan pernikahan, sebagaimana sebuah hadits menyatakan, ”Tidak ada yang terbaik bagi dua orang yang saling mencintai kecuali menikah.” (HR. Ibnu Majah)

Sedangkan menunda-nunda ikatan pernikahan saat hati sudah tertambat pada diri seseorang, atau berusaha menghindar terhadap seseorang yang kita sukai merupakan bentuk penyiksaan batin yang lain, seperti seekor kucing yang dijauhkan dari makanan yang baru ditemuinya. Ia merasa begitu kehilangan, karena dijauhkan dari sesuatu yang selama ini ia harapkan. So, segera pastikan, cari sebuah jawaban, kunjungi orang tuanya, tentukan tanggal pelaksanaan. Insya Allah hati akan menjadi tentram. Wallauhu’alam bishshowab.

Sabtu, 05 Februari 2011

Hukum Islam dimata Non Muslim

Ada temen Kyai Fulan, masi muda n mimpin sbuah pesantren di Malang.
dy pnya ttangga Pak Alex nasrani yg kaya banget n punya anak perempuan cakep plus seksi.
kebiasaan Pak Alex mondar mandir tiap malem diluar rumah sampe malem banget, sampe akhirnya terjadi dialog.

Kyai Fulan: Pak ALex ini saya liat2in kok slalu mandir mondar tiap malem. memangnya ada apa sih pak....
Pak Alex: Anu Pak Kyai... sebenarnya saya lagi resah nungguin anak saya pulang dari kampus. hampir tiap malam saya sampe nggak bisa tidur awal kecuali pas libur kuliah saja...
Kyai Fulan: lho anaknya kan sudah besar... kuliah bawa mobil sendiri...
Pak Alex: Betul pak Kyai, tapi sbagai orang tua saya kwatir anak saya diperkosa atau dibunuh atau mobilnya dicuri.
Kyai Fulan: Pak Alex.. kalo dalam islam, pencuri hukumannya dipotong tangannya pak...
Pak Alex: ooh gitu yah pak yai...
Kyai Fulan: nggak hanya itu pak, kalo perampok bisa lansung dipotong tangan dan kakinya menyilang...
Pak Alex: wahh, harusnya memang kayak gitu...
Kyai Fulan: nggak hanya itu pak, kalo pemerkosa bisa langsung dirajam... dilempari batu sebesar tangan ditengah lapangan dan disaksikan banyak orang.
Pak Alex: lha hukuman itu yang memang tepat biar yang lain kapok...
Kyai Fulan: nggak cuman itu pak... kalo perampoknya membunuh.. maka dia harus dibunuh juga dan disalib sbagai peringatan pada orang2 yang lain...
Pak Alex: wah luar biasa pak kyai... kalo saja hukum tadi diterapkan di indonesia saya yakin saya bisa tidur nyenyak tidap malam.
Kyai Fulan: Skarang saya tanya kalo misalkan anak pak Alex diperkosa kemudian dibunuh.. kemudian pelakun kejahatannya dihukum 7 tahun... apakah bapak ikhlas/ rela???
Pak Alex: tentu saja tidak. bodoh banget kalo sampe saya rela.
Kyai Fulan: kalo kemudian pelakunya bisa membayar pengadilan hingga hanya menjalani hukuman 3 bulan saja apakah Pak Alex rela???
Pak Alex: wahh orang gila saja bakalan marah kalo kejadian seperti itu pak kyai... kalo ada yg nggak marah pasti dia itu lebih gila dari orang gila...
Kyai Fulan: Jadi apakah Pak Alex takut dengan hukum potong tangan, hukum bunuh bagi si pembunuh dan hukum2 yg saya sebutkan tadi???
Pak Alex: mengapa takut??? saya bukan pencuri... saya bukan pembunuh... saya bukan pemerkosa... justru saya sangat-sangat setuju dengan hukum tersebut bila diterapkan dan saya akan merasa aman sekali...

Demikian hasil cerita dari yg bersangkutan yg dia itu teman saya juga :D

Jumat, 04 Februari 2011

nasihat untuk cucuku

Ingatlah cu!…
Bumi kita bumi yang payah,
Penuh peluh, air mata dan mungkin darah,
Bila kita jejak tapaknya perlu punyai wadah,
Ikuti dibelakang ulama’ supaya tidak goyah,
Bila dikatakan pada mu: Perjuangan itu amat susah,
Dikau katakanlah kembali: Aku mengharap hanya keredhaan dari ALLAH.

Ingatlah cucuku..
Aku harapkan kau jadi seorang mujahid,
Yang merindukan dan memburu syahid,
jangan kau harapkan kehidupan yang sempit


Senyumlah nak..
Senyumlah dan serilah wajah,
Walau pudar dan hambar datang tidak sudah,
Belajarlah menjadi seorang mujahid dan mujahidah,
Doaku agar kita berani seperti Hamzah,
Malah punyai semangat seperti Sumaiyah.

OPTIMIS

Empat belas abad yang lalu Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh, sepeninggalku akan ada para penguasa negara yang mementingkan diri sendiri dan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak kalian sukai.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami ketika mengalami peristiwa tersebut?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah kewajiban kalian dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (HR Muslim).
Apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. tersebut tampak jelas dalam perilaku para penguasa saat ini. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Rahmat Waluyanto, mengakui bahwa Indonesia akan menambah hutang pada tahun 2011 sebesar Rp 200,6 triliun. Tentu, ini harus dibayar oleh rakyat. Namun, realitasnya uang rakyat itu digasak oleh penguasa. Sekadar contoh, kita tahu beberapa waktu lalu ramai pembangunan gedung mewah DPR berfasilitas SPA dan kolam renang senilai Rp 1,8 triliun, biaya pembahasan RUU inisiatif DPR sebesar 170 miliar, dana aspirasi Rp 8,4 triliun, bagi-bagi cek kosong Rp 1,1 triliun, dan tak ketinggalan penyelewengan pembangunan Rumah Jabatan Anggota DPR di Kalibata serta dana plesiran ke luar negeri yang nilainya triliunan. Kalangan menteri pun demikian. Sebut saja proyek renovasi interior rumah dinas Menteri Keuangan yang menelan biaya Rp 3,4 miliar (pada pertengahan 2008 berbiaya Rp 2,1 miliar dan awal 2009 menelan anggaran hingga Rp 1,3 miliar).
Kasus hukum yang melibatkan pejabat seperti kasus Century, kasus rekening gendut para jenderal, kasus suap pemilihan Gubernur Bank Indonesia, dan kasus mafia pajak Gayus Tambunan tak diselesaikan dengan serius. Sadar atau tidak, para penguasa sedang menggiring kita secara sengaja, terprogram dan terencana menuju kebinasaan. Lupakah kita bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang-orang sebelum kalian menjadi binasa karena jika ada orang dari kalangan terhormat (pejabat, penguasa, elit masyarakat) mencuri, mereka membiarkannya dan jika ada orang dari kalangan rendah (masyarakat rendahan, rakyat biasa) mencuri, mereka menegakkan sanksi hukuman atasnya. Demi Allah, sendainya Fatimah binti Muhamamd mencuri, pasti aku potong tangannya.” (HR al-Bukhari).
Rakyat makin dicekik. Dengan berbagai dalih, ‘subsidi’ BBM dicabut. Padahal pihak yang pertama kali merasakan dampak kenaikan harga-harga akibat hal tersebut adalah rakyat kecil. Mereka tetap bergeming saat banyak pihak mengkritik kebijakan tersebut, seakan mereka kebal kritik dan kebal hukum.
Baru saja Pemilu 2009 berlalu, sekarang mereka sudah saling sikut untuk memperebutkan kursi dan presiden/wakil presiden dalam Pemilu 2014. Mereka makan uang rakyat, tetapi tidak mengurusi rakyat. Realitas ini semakin membuat masyarakat memahami makna sabda Kanjeng Rasul Muhammad saw., “Pada Hari Kiamat kelak setiap pengkhianat akan membawa bendera yang dia kibarkan tinggi-tinggi sesuai dengan pengkhianatannya. Ketahuilah, tidak ada pengkhianatan yang lebih besar daripada pengkhianatan seorang penguasa terhadap rakyatnya.” (HR Muslim).
Masyarakat makin paham tentang realitas ini. Karenanya, tidaklah mengherankan bila berbagai survey menunjukkan semakin menurunnya kepercayaan rakyat kepada penguasa daripada tahun sebelumnya. Dalam jajak pendapat Kompas akhir 2010 ditemukan: 69,2% tidak puas terhadap upaya Pemerintah menangani berbagai masalah; kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah tersisa 54,6%. Hal serupa terjadi pada wakil rakyat: 73% responden tidak puas terhadap DPR; 68% menilai negatif partai politik.
Di tengah derasnya ketidakpercayaan rakyat terhadap penguasa, wakil rakyat, dan partai politik yang menerapkan kapitalisme, ternyata masyarakat menaruh harapan pada syariah Islam dan Khilafah. Survey oleh PPIM–UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan masyarakat yang menginginkan syariah pada tahun 2001 sebesar 61%, tahun 2002 sebesar 71%, dan pada tahun 2003 meningkat menjadi sebesar 75%. Khusus di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, hasil survey Setara Institute menunjukkan mayoritas masyarakat setuju dengan hukum rajam, jilbab, perbankan syariah dan label halal. Masih menurut survey itu, terdapat 34.6% masyarakat yang setuju Khilafah. Tentu, ini jumlah yang tidak dapat dianggap sepele. Lihat saja Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu tahun 2009 hanya mengantongi 20,85%. Apalagi, ada survey lain yang lebih luas. Survey SEM Institute pada tahun 2010 menemukan bahwa 74% masyarakat Indonesia setuju syariah, 70% setuju dengan pengertian Khilafah sebagai bentuk sistem politik dan pemerintahan dalam Islam, dan 83% menyatakan bahwa umat Islam butuh Khilafah yang menyatukan umat dunia. Hal ini menunjukkan rakyat semakin sadar bahwa negeri Muslim terbesar ini tengah sakit dan obatnya adalah Islam. Dari sini juga dapat dilihat bahwa propaganda yang memberikan cap negatif (stigma) terhadap gagasan syariah dan Khilafah hanyalah sebuah upaya untuk membungkam jiwa rakyat yang menaruh harapan pada Islam sebagai satu-satunya solusi. Justru respon positif umat terhadap Islam merupakan sikap optimisme tersendiri.
Terkait masalah ini ada dua pelajaran penting. Pertama: optimisme menyongsong kemenangan Islam. Allah SWT telah berjanji memenangkan agama ini dan memberikan pertolongan kepada kaum Mukmin. Upaya musuh-musuh Islam untuk memadamkan Islam sebagai cahaya petunjuk dari Allah SWT pasti kandas (Lihat QS at-Taubah [9]: 32). Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa upaya mereka mema-damkan cahaya Allah ini sebagaimana mereka hendak memadamkan sinar matahari hanya dengan meniupkan mulut mereka. Ini mustahil berhasil (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, IV/136).
Kedua: kondisi yang makin parah dan sambutan masyarakat terhadap penerapan syariah dan penyatuan umat dalam Khilafah sejatinya makin mendorong kita untuk terus mendakwahkan kebenaran (al-haq). Kewajiban seorang Muslim saat mengetahui kebenaran adalah mengikuti kebenaran itu dan menyatakan kebenaran itu tanpa rasa takut kepada siapapun. Ini adalah bagian amar makruf nahi munkar. Orang yang diam dari kebenaran adalah setan bisu. Bagaimana mungkin ada seseorang dapat dihinggapi rasa takut kepada manusia melebihi takutnya kepada Allah. Hal ini tidak boleh terjadi baik pada individu Muslim maupun gerakan/lembaga Islam. Sebab, seorang Muslim, saat mengetahui kebenaran, harus bertawakal untuk mengikuti kebenaran tersebut, mendakwahkan-nya, serta menjelaskannya (Mahmas bin Abdullah bin Muhammad al-Jal’ud, Al-Muwalah wa al-Mu’adah fi asy-Syariah al-Islamiyyah, 1/387).